Senin, 29 April 2013
Behavior Therapy
Pendekatan terapi perilaku (behavior therapy) berfokus pada hukum pembelajaran. Bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh proses belajar sepanjang hidup. Tokoh yang melahirkan behavior therapy adalah Ivan Pavlov yang menemukan “classical conditioning” atau “associative learning”.
Inti dari pendekatan behavior therapy adalah manusia bertindak secara otomatis karena membentuk asosiasi (hubungan sebab-akibat atau aksi-reaksi). Misalnya pada kasus fobia ular, penderita fobia mengasosiasikan ular sebagai sumber kecemasan dan ketakutan karena waktu kecil dia penah melihat orang yang ketakutan terhadap ular. Dalam hal ini, penderita telah belajar bahwa "ketika saya melihat ular maka respon saya adalah perilaku ketakutan".
Tokoh lain dalam pendekatan Behavior Therapy adalah E.L. Thorndike yang mengemukakan konsep operant conditioning, yaitu konsep bahwa seseorang melakukan sesuatu karena berharap hadiah dan menghindari hukuman.
Berbagai metode psikoterapi yang termasuk dalam pendekatan behavior therapy adalah Exposure and Respon Prevention (ERP), Systematic Desensitization, Behavior Modification, Flooding, Operant Conditioning, Observational Learning, Contingency Management, Matching Law, Habit Reversal Training (HRT) dan lain sebagainya.
sumber : http://www.psikoterapis.com/?en_metode-psikoterapi-yang-dipakai%2C16
RATIONAL EMOTIVE THERAPY
A. Konsep Dasar
Menurut
Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki
kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan
bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten.
Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak
efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh
evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak
disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat
dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang
menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat
personal, dan irasional.
Berpikir
irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya
diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara
irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang
tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang
tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif
serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional
dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan
cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan
pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari
konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun
tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan
Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal
dengan konsep atau teori ABC.
- Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
- Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
- Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain itu, Ellis
juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus
melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya
bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari
keyakinan-keyakinan yang rasional.
Sebagai contoh,
“orang depresi merasa sedih dan kesepian karena dia keliru berpikir
bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir”. Padahal, penampilan
orang depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi. Jadi,
Tugas seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian
yang dialami orang depresi, melainkan menyerang keyakinan mereka yang
negatif terhadap diri sendiri.
Walaupun tidak
terlalu penting bagi seorang terapis mengetahui titik utama
keyakinan-keyakinan irasional tadi, namun dia harus mengerti bahwa
keyakinan tersebut adalah hasil “pengondisian filosofis”, yaitu
kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara otomatis, persis seperti
kebiasaan kita yang langsung mengangkat dan menjawab telepon setelah
mendengarnya berdering.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam
perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah,
didalamnya merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir
yang irrasional.
Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah :
- Tidak dapat dibuktikan
- Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu
- Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional disebabkan oleh:
- Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara kenyatan dan imajinasi
- Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain
- Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator sebab keyakinan irasional adalah:
- Manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan
- Banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum
- Kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya
- Lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk menghadapi dan menanganinya
- Penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut
- Pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang
- Untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural\
- Nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
Menurut
Albert Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang
“diprogram” untuk selalu menanggapi “pengondisian-pengondisian” semacam
ini. Keyakinan-keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk
pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa jenis “pikiran-pikiran yang
keliru” yang biasanya diterapkan orang, di antaranya:
1. Mengabaikan hal-hal yang positif,
2. Terpaku pada yang negatif,
3. Terlalu cepat menggeneralisasi.
Secara ringkas, Ellis mengatakan bahwa ada tiga keyakinan irasional:
1. “Saya harus punya kemampuan sempurna, atau saya akan jadi orang yang tidak berguna”:
2. “Orang lain harus memahami dan mempertimbangkan saya, atau mereka akan menderita”.
3. “Kenyataan harus memberi kebahagiaan pada saya, atau saya akan binasa”.
C. Tujuan Konseling
- Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
- Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
- Insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
- Insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
- Insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal :
(1) minat kepada diri sendiri,
(2) minat sosial,
(3) pengarahan diri,
(4) toleransi terhadap pihak lain,
(5) fleksibel,
(6) menerima ketidakpastian,
(7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya,
(8) penerimaan diri,
(9) berani mengambil risiko,
(10) menerima kenyataan.
Ellis
berulang kali menegaskan bahwa betapa pentingnya “kerelaan menerima
diri-sendiri”. Dia mengatakan, dalam RET, tidak seorang pun yang akan
disalahkan, dilecehkan, apalagi dihukum atas keyakinan atau tindakan
mereka yang keliru. Kita harus menerima diri sebagaimana adanya,
menerima sebagaimana apa yang kita capai dan hasilkan. Dia mengkritik teori-teori yang terlalu menekankan kemuliaan pribadi dan ketegaran ego serta konsep-konsep senada lainnya.
Menurut
Ellis, memang ada alasan-alasan tertentu kenapa orang mengedepankan
diri atau egonya, yaitu kita ingin menegaskan bahwa kita hidup dan dalam
keadaan baik-baik saja, kita ingin menikmati hidup, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, jika hal ini dilihat lebih jauh lagi, ternyata
mengedepankan diri atau ego sendiri malah menyebabkan ketidaktenangan,
seperti yang diperlihatkan oleh keyakinan-keyakinan irasional berikut
ini:
- Aku ini punya kelebihan atau tak berguna.
- Aku ini harus dicintai atau orang yang selalu diperhatikan.
- Aku harus abadi.
- Aku harus jadi orang baik atau orang jahat.
- Aku harus membuktikan diriku.
- Aku harus mendapatkan apa pun yang saya inginkan.
Ellis
berpendapat bahwa evaluasi-diri yang keterlaluan akan menyebabkan
depresi dan represi, sehingga orang akan mengingkari perubahan. Yang
harus dilakukan manusia demi kesehatan jiwanya adalah berhenti
menilai-nilai diri sendiri. Ellis tampaknya agak skeptis akan keberadaan
diri yang “sebenarnya” seperti yang diyakini Homey atau Rogers . Dia
sangat tidak sepakat dengan gagasan tentang adanya konflik antara diri
yang teraktualisasi dengan citra diri yang dituntut masyarakat.
Menurutnya, diri menurut seseorang dan diri menurut masyarakat bukannya
saling bertentangan, sebaliknya saling topang.
Dia juga tidak sepakat
dengan gagasan yang menyatakan bahwa ada kesatuan transpersonal daIam
diri atau jiwa. Agama Buddha, umpamanya, bisa berjalan baik tanpa adanya
gagasan ini. Dia juga tidak percaya akan adanya alam bawah sadar mistis
seperti yang diajarkan berbagai tradisi atau psikologi transpersonal
yang dikemukakan ilmu psikologi. Dia menganggap keadaan kejiwaan semacam
ini lebih bersifat tidak otentik ketimbang transenden. Di lain pihak,
dia menganggap pendekatannya lahir dari tradisi kuno kaum Stoik dan
didukung oleh pemikiran filosofis, terutama pemikiran Spinoza. Dia juga
melihat adanya kemiripan tertentu antara pendekatannya dengan
eksistensialisme dan psikologis eksistensial. Artinya, pendekatan apa
pun yang menempatkan tanggung jawab ke pundak diri individual beserta
keyakinan yang dipegangnya lebih mirip dengan pendekatan RET-nya Ellis
ini.
D. Deskripsi Proses Konseling
- Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.
- Tugas konselor menunjukkan bahwa masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak rasional serta usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor :
(a)
lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan
cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan
masalah klien secara langsung;
(b)
menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara
berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik
dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide
irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien;
(c) mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya;
(d)
menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan
“menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :
- Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
- Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
- Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
- Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
E. Teknik Konseling
Pendekatan
konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat
kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien.
Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
a. Assertive adaptive
Teknik
yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk
secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang
diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan
diri klien.
b. Bermain peran
Teknik
untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan
(perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan
sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya
sendiri melalui peran tertentu.
c. Imitasi
Teknik
untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu
dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang
negatif.
Teknik-teknik Behavioristik
a. Reinforcement
Teknik
untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan
logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman
(punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan
keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem
nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka
klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
b. Social modeling
Teknik
untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini
dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang
diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan
dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial
dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
Teknik-teknik Kognitif
a. Home work assigments,
Teknik
yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih,
membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang
menuntut pola tingkah laku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang
diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide
dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari
bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek
kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan
tugas yang diberikan
Pelaksanaan
home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam
suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan
untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan
pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan
diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
b. Latihan assertive
Teknik
untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah
laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran,
latihan, atau meniru model-model sosial. Maksud utama teknik latihan
asertif adalah :
(a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya;
(b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain;
(c)
mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan
(d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku
asertif yang cocok untuk diri sendiri.
Referensi:
Akhmad Sudratajat. 2008. Pendekatan Konseling Rasional Emotif. dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-rasional-emotif/
DYP Sugiharto, Dr. , M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Lutfi Seli Fauzi. 2008. Rational Emotive Therapy. dalam http://luthfis.wordpress.com/2008/04/03/rational-emotive-theraphy/
Sayekti Pujosuwarno, Dr, M.Pd. 1993. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Menara Mas Offset
Senin, 15 April 2013
ANALISIS TRANSAKSIONAL
Latar Belakang
Analisis
Transaksional (AT) adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang
menekankan pada hubungan interaksional. AT dapat dipergunakan untuk
terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan
ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian
ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga
dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang
diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien
untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan
hidupnya sendiri.
AT
dikembangkan oleh Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku
Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari
kelompok Humanisme. Pendekatan analisis transaksional ini berlandaskan
teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan
transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis
terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang
dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis transaksional berasumsi
bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir,
dan memutusakan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan-
perasaannya.
Dalam mengembangkan pendekatan ini Eric Berne menggunakan berbagai bentuk permainan antara orang tua, orang dewasa dan anak.
Dalam
eksprerimen yang dilakukan Berne mencoba meneliti dan menjelaskan
bagaimana status ego anak, orang dewasa dan orang tua, dalam interaksi
satu sama lain, serta bagaimana gejala hubungan interpersonal ini muncul
dalam berbagai bidang kehidupan seperti misalnya dalam keluarga, dalam
pekerjaan, dalam sekolah, dan sebagainya.
Dari
eksperimen ini Berne mengamati bahwa kehidupan sehari-hari banyak
ditentukan oleh bagaimana ketiga status ego (anak, dewasa, dan orang
tua) saling berinteraksi dan hubungan traksaksional antara ketiga status
ego itu dapat mendorong pertumbuhan diri seseorang, tetapi juga dapat
merupakan sumber-sumber gangguan psikologis. Percobaan Eric Berne ini
dilakukan hamper 15 tahun dan akhirnya dia merumuskan hasil percobaannya
itu dalam suatu teori yang disebut Analisis Transaksional dalam
Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1964 dia
menulis pula tentang Games Pupil Play, dan tahun 1966 menerbitkan
Principles of Group Treatment. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris,
Mc Neel J. dan R. Grinkers.
KONSEP-KONSEP UTAMA
Konsep Dasar Pandangan tentang sikap manusia
Analisis
Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang
memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan.
Analisis Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang
mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat
memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan
yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini bahwa
manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi
persoalan-persoalan hidupnya.
Kata
transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu hubungan.
Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi, yang dipertukarkan
adalah pesan pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional
sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi
(siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang
dipertukarkan).
Perwakilan Ego
Dalam
diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga
status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent=
P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego
anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap
orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). AT menggunakan suatu
sistem terapi yang berlamdaskan pada teori kepribadian yang menggunakan
pola perwakilan ego yang erpisah; orang tua, orang dewasa, dan anak.
Menurut corey (1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang
merupakan introyeksi dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego
orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan
adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita
merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan
perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang tua
berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri
kita bisa “orang tua pelindung” atau orang tua pengkritik”.
Ego
orang dewasa adalah pengolah data dan informasi., adalah bagian
objektif dari kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang
mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia tidak emosional dan meghakimi,
tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan ekternal. Berdasarkan
informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang
paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya,
ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat
spontan, “anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,”
adalah anak yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia
adalah bagian dari ego anak yang intuitif. Ada juga berupa “anak
disesuiakan,” yaitu merupakan modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh
pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan, latihan, dan
ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya memperoleh perhatian.
Skenario Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar
Skenario
kehidupan adalah ajaran orang tua yang kita pelajari dan keputusan awal
yang dibuat oleh kita sebagai anak, selanjutnya dipahami oleh kita
sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dengan demikian kita
belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan
verbal dan non verbal orang tua, mengkomunikasikan bagaimana mereka
melihat dan bagimana merasakan diri kita. Kita membuat keputusan yang
memberikan andil pada pembentukan perasaaan sebagai pemenang (perasaan
“OK”) atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan “tidak OK”).
Hubungannya
dengan konsep skenario, pesan-pesan dan perintah orang tua dan
keputusan kita. Dalam hal ini, konsep AT memiliki empat posisi dasar
yaitu;
Pertama, Saya OK—Kamu OK
Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK
Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK
Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.
Masing-masing
dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang
sebagai hasil dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang telah
diambil, maka umumnya dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali
bila ada intevensi (konselor atau kejadian tertentu) yang mengubahnya.
Posisi yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau
posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti
pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK—kamu
tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan masalah-masalanya
kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada orang lain,
ciri pada posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang dari
orang lain dan mempertahankan seseorang dari teralinasi. Saya Tidak
OK—Kamu OK , adalah posisi orang yang mangalami depresi, merasa tidak
kuasa dibanding dengan orang lain dan cenderung menarik diri atau lebih
suka memenuhi keinginan orang lain daripada keinginan diri sendir. Saya
Tidak OK—Kamu Tidak OK, adalah posisi orang yang memupus semua harapan,
bersikap pesimis, dan memandang hidup sebagai sesutau yang hampa.
Kebutuhan manusia akan belaian
Pada
dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain, baik itu
yang berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional. AT memungut
pandangan tentang motivasi manusia bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar
berkaitan langsung dengan tingkah laku sehari-hari yang dapat diamati.
Sejumlah kebutuhan dasar mencakup haus akan belainan, haus akan
struktur, haus akan kesenangan dan haus akan pengakuan. Teori AT
menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan
yang bisa dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui keakraban.
Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi saya OK kamu OK di
kedua belah pihak. Hubungan yg akrab lazimnya bertumpu pada penerimaan
cinta di mana sikap defensive menjadi tidak perlu. Memberi dan menerima
adalah ungkapan kenikmatan yang spontan alih-alih respon-respons
terhadap upacara-upacara yang diprogram secara social. Keakraban adalah
hbungan yang bebasa dari permainann karena tujuan-tujuannya tidak
tersembunyi (Harris, 1967 hlm 151-152).
Jadi
salah satu cara teori AT menjabarkan tigkah laku manusia adalah dalam
kerangka penyusunan waktu yang melibatkan berbagai cara meperoleh
belaian dari orang lain. Cara-cara itu berada pada suatu kontinum dari
pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari orang lain melalui
upacara-upacara dan permainan-permainan, terhadap belaian-belaian yang
diperoleh melalui suatu hubungan pribadi yg bermakna dan akrab.
Permainan-permainan yang kita mainkan
Para
pendukung AT mendorong orang-orang untuk mengenali dan memahami
perwakilan-perwakilan egonya. Alasannya adalah dengan mengakui ketiga
perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan-
putusan anak yang telah usang dari pesan-pesan orang tua yg irrasional
yang menyulitkan kehidupan mereka. AT mengajari orang bagian mana yang
sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan yang penting bagi
kehidupannya. Disamping itu, para tokoh AT mengungkapkan bahwa
orang-orang bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak.
Mereka juga bisa mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang
lain. Mereka bisa sadar akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka
berbohong kepada orang lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip AT,
orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya., dan mereka
bisa mengubah respons-respons belaian dari negatif ke positif.
AT
memandang permainan-permainan sebagai penukaran belaian-belaian yg
mengakibatkan berlarutnya-larutnya perasaan-perasaan tidak enak.
Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi,
orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan
menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan
pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang
memainkan permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang
menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian
memutusakan untuk tidak lagi memainkannya.
Segitiga
drama Karpman bisa digunakan untuk membantu orang-orang untuk memahami
permainan-permainan. Pada segitiga terdapat seorang penuntut, seorang
penyelamat, dan seorang korban.
Tujuan Terapi
Tujuan
utama dari AT adalah membantu klien dalam membuat keputusan-keputusan
baru yang berhubungan tingkah lakunya saat ini dan arah hidupnya.
Sedangkan sasarnya adalah mendorong klien agar menyadari, bahwa
kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh ketusan awal
mengenai posisi hidupnya serta pilihan terhadap cara-cara hidup yang
stagnan dan deterministik. Menurut Berne (1964) dalam Corey (1988) bahwa
tujuan dari AT adalah pencapaian otonom yang diwujudkan oleh penemuan
kembali tiga karakteristik; kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Penekanan
terapi adalah menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh permainan yang
manipulatif dan oleh skenario-skenario hidup yang menyalahkan diri dan
gaya hidup otonom ditandai dengan kesadaran spontanitas dan keakraban.
Menurut Haris (19967) yang dikutip dalam Corey (1988) tujuan pemberian
treatment adalah menyembuhkan gejala yang timbul dan metode treatment
adalah membebaskan ego Orang Dewasa sehingga bisa mengalami kebebasan
memilih dan penciptaan pilihan-pilihan baru atas pengaruh masa lampau
yang membatasi. Tujuan terapeutik, dicapai dengan mengajarkan kepada
klien dasar-dasar ego Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anak. Para
klien dalam setting kelompok itu belajar bagaimana menyadari dan
menjabarkan ketiga ego selama ego-ego tersebut muncul dalam
transaksi-transaksi kelompok.
Fungsi dan Peran Terapis
Harris
(1967) yang dikutip dalam Corey (1988) memberikan gambaran peran
terapis, seperti seorang guru, pelatih atau nara sumber dengan penekanan
kuat pada keterlibatan. Sebagai guru, terapis menerangkan konsep-konsep
seperti analisis struktural, analisis transaksional, analisis skenario,
dan analisis permainan. Selanjutnya menurut Corey (1988), peran terapis
yaitu membantu klien untuk membantu klien menemukan suasana masa lampau
yang merugikan dan menyebabkan klien membuat keputusan-keputusan awal
tertentu, mengindentifikasikan rencana hidup dan mengembangkan
strategi-strategi yang telah digunakannya dalam menghadapi orang lain
yang sekarang mungkin akan dipertimbangkannya. Terapis membantu klien
memperoleh kesadaran yang lebih realistis dan mencari
alternatif-alternatif untu menjalani kehidupan yang lebih otonom.
Terapis
memerlukan hubungan yang setaraf dengan klien, menunjuk kepada kontrak
terapi, sebagai bukti bahwa terapis dan klien sebagai pasangan dalam
proses terapi. Tugas terapi adalah, menggunakan pengetahuannya untuk
mendukung klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak spesifik yang
jelas diprakarsai oleh klien. Konselor memotivasi dan mengajari klien
agar lebih mempercayai ego Orang Dewasanya sendiri ketimbang ego Orang
Dewasa konselor dalam memeriksa keputusan–keputusan lamanya serta untuk
membuat keputusan-keputusan baru.
Hubungan Konselor Dengan Klien
Pelaksanaan
terapi AT beradasarkan kontrak, kontrak tersebut menjelaskan keinginan
klien untuk berubah, di dalam kontrak berisi kesepakatan-kesepakatan
yang spesifik, jelas, dan ringkas. Kontrak menyatakan apa yang dilakukan
oleh klien, bagaimana klien melangkah ke arah tujuan-tujuan yang telah
ditetapkannya dan kapan kontrak tersebut akan berakhir. Kontrak dapat
diperpanjang, konselor akan mendukung dan bekerja sesuai kontrak yang
telah menjadi kesepakatan bersama. Pentingnya keberadaan kontrak, karena
umumnya dalam terapi, klien seringkali keluar dari kesepakatan awal.
Menyimpang, cenderung memunculkan masalah-masalah baru, bersikap pasif,
dan dependen akibatnya proses penyembuhan membutuhkan tambahan waktu.
Dengan adanya kontrak maka kewajiban tanggungjawab bagi klien semakin
jelas, membuat usaha klien untuk tidak keluar pada kesepakatan dan
komitmen untuk penyembuhan tetap menjadi perhatian, maka klien menjadi
fokus pada tujuan-tujuan sehingga proses penyembuhan akan semakin cepat.
Maksud
dari kontrak lebih spesifik, yaitu menyepakati cara-cara yang
sesungguhnya digunakan dalam terapi yang disesuikan dengan kebutuhan
klien dengan memperhatikan apakah untuk individu atau kelompok.
Contoh
dalam kontrak, misalnya klien membutuhkan hubungan yang harmonis dan
bermakna dengan orang lain, kemudian dia berkata, “Saya merasa kesepian
dan saya ingin lebih memiliki hubungan yang harmonis dengan para
kerabat”. Maka, kontrak yang dibuat harus mencakup latihan yang spesifik
dengan mengerjakan tugas oleh kliean agar dia memiliki kepercayaan diri
untuk berhubungan secara harmonis dan bermakna. Bagaimana dengan klien
yang bingung menentukan apa yang menjadi keinginannya? Selanjutnya untuk
membuat kontrak pun akan sulit, Corey (1988) memberikan solusi, bagi
mereka yang seperti itu disarankan untuk memulai dan menetapkan kontrak
jangka pendek atau kontrak yang lebih mudah dengan berkonsultasi tidak
terlalu lama diyakini kontrak akan bisa ditetapkan. Perlu dipahami bahwa
kontrak buka tujuan, melainkan sebagai alat untuk membantu klien untuk
dapat menerima tanggunjawab agar lebih aktif dan otonom.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan oleh konselor ketika membangun hubungan
dengan klien; Pertama, tidak ada kesenjangan pemahaman antara klien dan
konselor yang tidak dapat jembatani. Kedua, klien memiliki hak-hak yang
sama dan penuh dalam terapi, artinya klien memiliki hak untuk menyimpan
atau tidak mengungkapkan sesuatu yang dianggap rahasia. Ketiga, kontrak
memperkecil perbedaan status dan menekankan persamaan di antara konselor
dan klien.
Teknik dan Prosedur Terapi
Untuk
melakukan terapi dengan pendekatan AT menurut Haris dalam Corey (1988)
treatment individu-individu dalam kelompok adalah memilih
analisis-analisis transaksional, menurutnya fase permualaan AT sebagai
suatu proses mengajar dan belajar serta meletakan pada peran didaktik
terapis kelompok. Konsep-konsep AT beserta tekniknya sangat relevan
diterapkan pada situasi kelompok, meskipun demikian penerapan pada
individu juga dianggap boleh dilakukan. Beberapa manfaat yang dapat
diperoleh, bila digunakan dengan pendekatan kelompok. Pertama, berbagai
ego Orang Tua mewujudkan dirinya dalam transaksi-transaksi bisa diamati.
Kedua, karakteristik-karakteristik ego anak pada masing-masing individu
di kelompok bisa dialami. Ketiga, individu dapat mengalami dalam suatu
lingkungan yang bersifat alamiah, yang ditandai oleh keterlibatan orang
lain. Keempat, konfrontasi permainan yang timbal-balik dapat muncul
secara wajar. Kelima, para klien bergerak dan membaik lebih cepat dalam
treatment kelompok.
Prosedur
pada AT dikombinasikan dengan terapi Gestalt, seperti yang dikemukakan
oleh James dan Jongeward (1971) dalam Corey (1988) dia menggabungkan
konsep dan prosedur AT dengan eksperimen Gestalt, dengan kombinasi
tersebut hasil yang diperoleh dapat lebih efektif untuk mencapai
kesadaran diri dan otonom. Sedangkan teknik-teknik yang dapat dipilih
dan diterapkan dalam AT, yaitu;
- Analisis struktural, para klien akan belajar bagaimana mengenali ketiga perwakilan ego-nya, ini dapat membantu klien untuk mengubah pola-pola yang dirasakan dapat menghambat dan membantu klien untuk menemukan perwakilan ego yang dianggap sebagai landasan tingkah lakunya, sehingga dapat melihat pilihan-pilihan.
- Metode-metode didaktik, AT menekankan pada domain kognitif, prosedur belajar-mengajar menjadi prosedur dasar dalam terapi ini.
- Analisis transaksional, adalah penjabaran dari yang dilakukan orang-orang terhadap satu sama lain, sesuatu yang terjadi diantara orang-orang melibatkan suatu transaksi diantara perwakilan ego mereka, dimana saat pesan disampaikan diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transaksi yaitu; komplementer, menyilang, dan terselubung.
- Permainan peran, prosedur-prosedur AT dikombinasikan dengan teknik psikodrama dan permainan peran. Dalam terapi kelompok, situasi permainan peran dapat melibatkan para anggota lain. Seseorang anggota kelompok memainkan peran sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi anggota lainnya, kemudian dia berbicara pada anggota tersebut. Bentuk permainan yang lain adalah permainan menonjolkan gaya-gaya yang khas dari ego Orang Tua yang konstan.
- Analisis upacara, hiburan, dan permainan, AT meliputi pengenalan terhadap upacara (ritual), hiburan, dan permainan yang digunakan dalam menyusun waktunya. Penyusunan waktu adalah bahan penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena merefleksikan keputusan tentang bagaimana menjalankan transaksi dengan orang laindan memperoleh perhatian.
- Analisa skenario, kekurangan otonomi berhubungan dengan keterikatan individu pada skenario atau rencana hidup yang ditetapkan pada usia dini sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya di dunia sebagaimana terlihat dari titik yang menguntungkan menurut posisi hidupnya. Skenario kehidupan, yang didasarkan pada serangkaian keputusan dan adaptasi sangat mirip dengan pementasan sandiwara.
Kesimpulan
Dari gambaran tentang AT di atas kami dapat memberikan kesimpulan bahwa:
Pertama,
AT menggunakan pendekatan Psychotherapy, dengan menekankan pada
hubungan interaksional. Analisis Transaksional dapat dipergunakan untuk
terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan
ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian
ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien,
proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan
sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.
Kedua,
AT menggunakan suatu sistem terapi yang berlamdaskan pada teori
kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego yang erpisah Sikap
dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic);
sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C,
arheopsychic).
Ketiga sikap tersebut
dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua), dengan
skenario kehidupan pesan-pesan verbal dan non verbal orang tua,
mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana merasakan diri
kita. Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada pembentukan
perasaaan sebagai pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang
yang kalah (perasaan “tidak OK”). Dalam hal ini, konsep AT memiliki
empat posisi dasar yaitu;
Pertama, Saya OK—Kamu OK, Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK, Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK, dan Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.
Ketiga,
yang penting untuk diketahui baik, konselor maupun klien ketika memulai
proses terapi untuk mencapai tujuan adalah; Pertama, tidak ada
kesenjangan pemahaman antara klien dan konselor yang tidak dapat
jembatani. Kedua, klien memiliki hak-hak yang sama dan penuh dalam
terapi, artinya klien memiliki hak untuk menyimpan atau tidak
mengungkapkan sesuatu yang dianggap rahasia. Ketiga, kontrak memperkecil
perbedaan status dan menekankan persamaan di antara konselor dan klien.
Logoterapi
Sejarah
Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi yang taat, dan Ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna hidup (Koeswara, 1992).
Pengertian
Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning. Bastaman (2007) menambahkan selain therapy through meaning, logoterapi juga bisa disebut health through meaning. Logoterapi juga dapat diamalkan pada orang-orang normal.
Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling tinggi (Bastaman, 2007).
Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992). Dalam kebebasan berkeinginan, Frankl memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan berkeinginan dalam batas tertentu. Manusia tidaklah bebas dari kondisi-kondisi fisik, lingkungan, dan psikologis, namun manusia mempunyai kebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi seperti itu. Keinginan akan makna merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang bahwa kesenangan, bukanlah tujuan utama manusia. Ia memandang bahwa kesenangan hanyalah efek dari pemenuhan dorongan dalam mencapai tujuan yaitu makna hidup. Makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan.
Inti dari ajaran logoterapi adalah:
a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b. Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap manusia.
c. Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
d. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).
Konsep Dasar Logoterapi
a. Makna Hidup (Meaning of Life)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri.
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), makna hidup bersifat objektif dan berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia karena ia menantang manusia untuk meraihnya. Jika status objektif tidak dimiliki oleh makna, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak akan menjadi tantangan. Kekuasaan misalnya, bukanlah merupakan bagian dari manusia itu sendiri, namun sesuatu yang berada di luar diri manusia yang harus dicapai apabila sesorang menginginkannya. Begitu juga dengan makna, apabila seseorang menginginkannya maka dia harus berusaha menggapainya melalui usaha sendiri dan bukan merupakan pemberian dari orang lain.
Makna hidup juga bersifat subjektif. Artinya makna hidup bersifat pribadi dan berbeda pada setiap individu. Sesuatu yang bermakna bagi sesorang bisa jadi tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang lain. Subjektivitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu dicapai oleh individu adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah unik, juga kehidupannya. Kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan seseorang yang lainnya, juga perspektifnya. Dari masing-masing perspektifnyalah setiap individu melihat dunia nilai-nilai.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat memberi pedoman dan arah. Makna hidup memberikan sebuah arahan terhadap kegiatan dan aktifitas keseharian dalam kehidupan sesorang. Makna hidup merupakan sesuatu yang identik dengan tujuan, hal itu akan menjadi sebuah titik tuju dalam kehidupan seseorang yang akan mengarahkan hidupnya dalam rangka menuju titik tujuan tersebut. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, individu akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan individu pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
Makna hidup melampaui intelektualitas manusia. Makna hidup tidak bisa hanya dicapai dengan usaha berpikir tanpa adanya usaha implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui sesuatu yang bermakna bagi kita perlu melalui proses intelektual. Namun, hal ini hanya merupakan sebuah pengetahuan belaka dan tidak memberi makna, ketika kita tidak menjalankan sebuah komitmen dan implementasi dari sesuatu yang kita anggap bermakna tersebut.
Hal ini pula yang menyebabkan Frankl merumuskan bahwa sumber-sumber dari makna hidup tidak hanya dicapai dengan sebatas usaha intelektual. Namun makna hidup dapat dicapai dengan menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan. Nilai-nilai ini dianggap sebagai sumber makna hidup.
Nilai-nilai kehidupan yang dianggap sebagai sumber makna hidup antara lain: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap (Booree, 2007).
a. Nilai-nilai Kreatif
Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang didapat dengan cara beraktivitas secara langsung terhadap suatu pekerjaan yang bisa membawa diri kita merasa bermakna. Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada pekerjaan yang bersifat formal dan menghasilkan uang, namun juga pekerjaan-pekerjan yang bersifat non-profit. Dalam sebuah pekerjaan, Frankl menekankan bahwa apapun pekerjaan itu dapat memberikan makna terhadap individu yang melakukannya.
Yang penting dalam aktivitas kerja bukanlah lingkup atau luasnya, melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dia bisa mengisi penuh lingkaran aktivitasnya itu. Juga, tidak menjadi soal, apa bentuk aktivitas itu dan siapa yang melaksanakannya. Rakyat kecil atau orang kebanyakan yang secara sungguh-sungguh dan menjalankan tugas kongkret yang memungkinkan diri dan keluarganya hidup, terlepas dari fakta bahwa kehidupannya itu kecil, lebih besar dan lebih unggul dibanding dengan seorang negarawan besar yang menentukan nasib jutaan orang dengan goresan penanya, tetapi putusan-putusannya ceroboh dan membawa berbagai akibat buruk.
Namun disini yang perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu sendiri terlepas dari makna, sehingga suatu pekerjaan tertentu tidak bisa menjamin pemenuhan makna. Lagi-lagi semua itu tergantung pada seseorang yang menjalaninya dan mempersepsi dari suatu pekerjaan itu. Dalam pembahasan berkenaan dengan nilai-nilai kreatif ini banyak ditekankan pada hal pekerjaan. Namun disini arah pembahasan Frankl tersebut lebih mengarah pada bagaimana seseoarang berkarya yang dirasa bermanfaat dan bermakna melalui pekerjaan yang dilakukan.
b. Nilai-nilai Penghayatan
Nilai-nilai penghayatan merupakan suatu kegiatan menemukan makna dengan cara meyakini dan menghayati sesuatu. Sesuatu ini dapat berupa kebenaran, kebajikan, keyakinan agama, dan keimanan. Frankl percaya bahwa seseorang dapat menemukan makna dengan menemui kebenaran, baik melalui keyakinan agama atau yang bersumber dari filsafat hidup yang sekuler sekalipun. Keyakinan beragama merupakan salah satu dari berbagai keyakinan yang dapat memberikan makna hidup.
Dalam keberagamaan orang dapat menemukan makna dan arti dalam kehidupannya. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya kepada agama. Selain itu orang-orang sekuler juga dapat menemukan makna di luar hal-hal yang bersifat agama. Seperti orang-orang yang berwatak sosialis, misalnya, mereka merasa menemukan makna dengan memahami filsafat materialis dan mengamalkan ajarannya. Ada juga orang yang dengan meyakini kebenaran-kebenaran universal dan menjalaninya seperti menolong sesama dan menjadi pekerja-pekerja sosial.
c. Nilai-nilai Bersikap
Nilai ini merupakan sikap yang diambil terhadap sebuah penderitaan yang tidak dapat dielakkan atau tak terhindarkan (inavoid moment). Hal ini bisa dalam bentuk kematian seseorang yang dicintai, penyakit yang tak dapat disembuhkan atau kecelakaan yang tragis. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin hal ini sama halnya dengan takdir yang dikenal dalam masyrakat kita. Sikap-sikap yang dikembangkan dalam hal ini antara lain menerima dengan ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini, menurut Frankl, bisa dilakukan karena manusia mempunyai kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Dengan kemampuan ini manusia mampu menjadi hakim terhadap dirinya dan akhirnya bisa menetukan sikap yang tepat terhadap apa yang menimpanya. Ketika seseorang larut dalam sebuah keadaan tragis dan terus meratapinya, Ia cendrung menjadi sebagai objek dari sebuah keadaan dan tidak bisa melihat dan menarik diri serta menjadikan dirinya sebagai subjek yang mengambil kebijakan dalam hidupnya. Karena dengan kemampuan self detachment manusia bisa menjadi subjek sekaligus menjadi objek atas semua perbuatannya.
d. Dimensi Manusia dalam Logoterapi
Logoterapi memandang manusia mempunyai dimensi spiritual, selain dimensi fisik dan dimensi kejiwaan (Fabry, 1980). Dalam aliran-aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behavior, spiritualitas sangat diabaikan. Psikoanalisa hanya menekankan pada aspek-aspek psikologis yang merupakan wujud dari tuntutan kebutuhan jasmani. Sedangkan behavior menekankan aspek fisik atau perilaku yang tampak.
Dalam pandangan logoterapi ketiga dimensi manusia ini (fisik, psikologis, dan spiritual) tidak boleh diabaikan dalam rangka memahami manusia seutuhnya. Dimensi spiritual dalam pandangan Frankl tidak selalu identik dengan agama. Setiap orang mempunyai dimensi spiritual sekalipun pada penganut atheis.
Dimensi spiritualitas dari manusia bersifat universal sebagaimana dimensi fisik dan psikologis. Frankl juga menyebut dimensi spiritual ini dengan “nootic” untuk menghindari term spiritual yang diidentikan dengan agama tertentu. Dimensi spiritual ini merupakan dimensi khas manusia dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebagai dimensi khas manusia, dimensi spiritual (nootic) ini terdiri dari kualitas-kualitas insani seperti hasrat akan makna, orientasi tujuan, iman, cinta kasih, kretivitas, imaginasi, tanggung jawab, self transcendence, komitmen, humor dan kebebasan dalam mengambil keputusan (Bastaman, 2007).
Kualitas-kualitas diatas memang merupakan kualitas insani yang khas manusia. Dalam kajian psikologi behavior dan psikoanalisa, aspek-aspek yang berkenaan dengan kualitas insani di atas tidak mendapatkan tempat. Dengan tetap mempertahankan metode positivistic, kualitas insani manusia terabaikan hanya dengan alasan bahwa aspek tersebut tidak termasuk dalam kajian bidang keilmuan yang bersifat empiris dan objektif.
e. Sindroma Ketidakbermaknaan
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik.
Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religi dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di barat bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang menyangkut permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak berguna dan perasaan hampa.
Untuk menunjukkan kemunculan fenomena tersebut, Frankl (Koeswara, 1992) menunjuk survei yang mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa yang berasal dari Jerman, Swiss, dan Austria mengaku mengalami perasaan absurd, ragu akan maksud dan tujuan atau makna hidup mereka sendiri. Sedangkan para mahasiswa yang berasal dari Amerika Serikat mengalami hal yang sama dengan presentase 81%.
Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat. Frankl menyatakan bahwa kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi dalam bentuk neurosis kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan pensiunan, dan penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama yaitu kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis. Menurut Frankl neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan.
Orang yang mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada alkohol dan narkoba dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut. Kasus alkoholik dan narkoba yang berakar pada permasalahan kevakuman eksistensialis inilah disebut dengan neurosis noogenik (Koeswara, 1990).
B. Terapi Logoterapi
1. Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl berdasarkan kasus kecemasan antispatori, yaitu kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau gejala yang ditakutinya (Koeswara, 1992).
Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti. Landasan dari intensi paradoksikal adalah kemampuan manusia untuk mengambil jarak atau bebas bersikap terhadap dirinya sendiri (Boeree, 2007). Frankl (dalam Koeswara, 1992) mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah menghindari atau lari dari situasi yang menjadi sumber kecemasan.
Contohnya, individu yang menghindari eritrofobia selalu cemas kalau-kalau dirinya gemetaran dan mandi keringat ketika berada di dalam ruangan yang penuh dengan orang. Kemudian, karena telah ada antisipasi sebelumnya, individu benar-benar gemetaran dan mandi keringat ketika dia memasuki ruangan yang penuh dengan orang. Individu pengidap eritrofobia ini berada dalam lingkaran setan. Gejala gemetaran dan mandi keringat menghasilkan kecemasan, kemudian kecemasan antisipatori ini menimbulkan gejala-gejala gemetaran dan mandi keringat. Jadi gejala antisipatori mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan (Koeswara, 1992).
2. Derefleksi
Derefleksi merupakan teknik yang mencoba untuk mengalihkan perhatian berlebihan ini pada suatu hal di luar individu yang lebih positif. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang ada pada manusia. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluahannya, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala hyper intention akan menghilang (Bastaman, 2007).
Pasien dengan teknik ini diderefleksikan dari gangguan yang dialaminya kepada tugas tertentu dalam hidupnya atau dengan perkataan lain dikonfrontasikan dengan makna. Apabila fokus dorongan beralih dari konflik kepada tujuan-tujuan yang terpusat pada diri sendiri, maka hidup seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi neurosisnya tidak hilang sama sekali.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya (Koeswara, 1992).
Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.
Senin, 08 April 2013
PERSON - CENTERED THERAPY (CARL ROGERS)
Carl Rogers terkenal sebagai seorang psikolog dengan
pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered atau
person-centered therapy ). Rogers kemudian menyusun teorinya dengan
pengalamannya sebagai terapis selama bertahun-tahun. Teori Rogers mirip dengan
pendekatan Freud, namun pada hakikatnya Rogers berbeda dengan Freud karena
Rogers menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik atau sehat. Dengan kata
lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup
alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan, dan persoalan kemanusiaan lain
dipandang sebagai penyimpangan dari kecenderungan alamiah.
Teori Rogers didasarkan pada suatu "daya
hidup" yang disebut kecenderungan aktualisasi. Kecenderungan aktualisasi
tersebut diartikan sebagai motivasi yang menyatu dalam setiap diri makhluk
hidup dan bertujuan mengembangkan seluruh potensinya semaksimal mungkin. Jadi,
makhluk hidup bukan hanya bertujuan bertahan hidup saja, tetapi ingin
memperoleh apa yang terbaik bagi keberadaannya. Dari dorongan tunggal inilah,
muncul keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan lain yang disebutkan oleh
psikolog lain, seperti kebutuhan untuk udara, air, dan makanan, kebutuhan akan
rasa aman dan rasa cinta, dan sebagainya.
1. CIRI-CIRI PERSON-CENTERED THERAPY
Ciri-ciri person centered therapy atau client
centered therapy Carl Rogers (dalam gunarsa,1996) dalam bukunya “Counseling and
Psychotherapy” menjelaskan mengenai ciri-ciri dari client centered therapy
sebagai berikut:
a. Perhatian diarahkan kepada pribadi klien dan
bukan kepada masalahnya. Tujuannya bukan memecahkan suatu masalah tertentu
tetapi membantu seseorang untuk tumbuh sehingga ia bisa mengatasi masalah baik
masalah sekarng maupun masalah yang akan datang dengan cara yang lebih baik dan
lebih tepat.
b. Hal yang kedua ialah penekanan lebih banyak
terhadap faktor emosi daripada terhadap faktor intelektual. Dalam kenyataannya,
banyak perbuatan yang dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran artinya
seseorang bisa mengerathui bahwa suatu perbuatan sebenarnya tidak baikjadi
secara rasional, intelektual, ia mengetahui itu dan tahu pula bahwa ia tidak
boleh melakukan itu namun kenyataannya lain.
c. Hal yang ketiga memberikan tekanan yang lebih
besar terhadap keadaan yang ada sekarang daripada terhadap apa yang sudah lewat
atau terjadi.
d. Hal yang keempat ialah penekanan hubungan
terapuetik itu sendiri sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini seseorang belajar
memahami diri sendiri, membuat keputusan yang penting dengan bebas dan bisa
sukses berhubungan dengan orang lain secara dewasa.
e. Proses terapi merupakan penyelarasian antara
gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya
f. Klien memegang peranan aktif dalam konseling
sedangkan konselor bersifat pasif-reflektif
2. TUJUAN PERSON-CENTERED THERAPY
Secara umum tujuan dari konseling ini adalah untuk
memfokuskan diri klien pada pertanggungjawaban dan kapasitasnya dalam rangka
menemukan cara yang tepat untuk menghadapi realitas yang dihadapi klien (Corey,
1986) atau dengan kata lain membantu klien agar berkembang secara optimal
sehingga mampu menjadi manusia yang berguna. (Sukardi, 1984).
Sedangkan secara terinci tujuannya adalah sebagai
berikut :
a. Membebaskan klien dari berbagai konflik
psikologis yang dihadapinya.
b. Menumbuhkan kepercayaan pada diri klien, bahwa ia
memiliki kemampuan untuk mengambil satu atau serangklaian keputusan yang
terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.
c. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien
untuk belajar mempercayai orang lain, dan memiliki kesiapan secara terbuka
untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri.
d. Memberikan kesadaran kepada klien bahwa dirinya
adalah merupakan bagian dari suatu lingkup sosial budaya yang luas, walaupun
demikian ia tetap masih memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri.
e. Menumbuhkan suatu keyakinan kepada klien bahwa
dirinya terus tumbuh dan berkembang (Process of becoming). (Sukardi. 1984)
Tujuan dari pendekatan terapi secara personal
mempunyai hasil berbeda-beda pada setiap orangnya tergantung pada pendekatan
masing-masing. Tujuan dari pendekatan ini agar klien dapat mendapatkan tingkat
kebebasan dari yang lebih tinggi dan integritas. Metode ini difokuskan pada
satu orang, tidak dengan diskusi masalah secara berkelompok. Roger (1977) tidak
percaya terapi ini dapat memecahkan masalah. Sebaliknya metode ini terapi ini
untuk membimbing klien agar klien dapat meningkatkan kemampuannya agar dapat
memecahkan masalah sekarang dan yangg akan datang.
Roger (1961) menulis bahwa manusia yang mengikuti
psikoterapi selalu bertanya ''bagaimana saya bisa menemukan jati diri saya
sendri, bagamana saya bisa menjadi sesuatu yng sangat saya inginkan, bagamana
saya bisa melupakan masalalu saya dan menjadi diri saya sendiri''. Tujuan yang
sudah ditekankan diatas adalah untuk mendisain suatu iklim yang kondusif agar
dpt membantu individu menjadi orang yang beguna. Sebelum klien bergerak menuju
tujuan terapi ini mereka harus melepas topengnya terlebih dahulu, hal ini
dilakukan agar mereka dapat besosialisasi dengan masyarakat. Klien datang untuk
mengetahui apa yang telah hilang dari kehidupannya dengan menggunakan facades.
Agar sesion terapi menjadi suatu terapi yg aman mereka harus menyadari
kemungkinan-kemungkinan lain baik atau buruk.
4. TEHNIK TERAPI
a. Penekanan awal pada refleksi perasaan
Roger menekankan pada pemahaman klien, ia juga
berpendapat bahwa sikap relasional therapist dengan klien merupakan jantung
atau pusat dari proses perubahan tersebut. Rogers beserta lainnya mengembangkan
pendekatan the person centered yang pada dasarnya adalah pernyataan ulang yang
sedrhana dari apa yang dikatakan klien.
b. Evolusi metode person centered
Filosofi the person centered di dasarkan pada asumsi
bahwa klien memiliki akal untu bergerak positif tanpa bantuan konselor. Salah
satu hal utama dimana person centered therapy berkembang adalah keragaman,
inovasi, dan individualisasi dalam prakteknya ( cain, 2002a). cain (2002a,
2008) percaya bahwa penting bagi therapist untuk memodifikasi gaya terapi untuk
mengakomodasikan kebutuhan spesifik setiap klien. Dalam jurnal yang ia tulis
tentang person centered therapy, cain berkata “ pemikiran saya telah berkembang
dan sekarang termasuk integrasi person centered, eksistensial, gestalt, dan
konsep pengalaman serta respon terapi. Kgunaan diri saya adalah ketika saya
dapat melahirkan aspek untuk memungkinkan adanya pertemeuan atauperjumpaan
terhadap klien saya”. Dan hari ini yang mempraktekkan pendekatan person
centered menunujukkan kemajuan baik dalam teori, prakte maupun gaya pribadi
seseorang.
c. Peran penilaian
Penilaian sering di pandang sebagai prasyarat untuk
proses tritmen. Beberapa kesehatan mental menggunakan berbagai procedure
penilaian termasuk diagnostic, identifikasi kekuatan klien dan kewajiban
pengerjaan test. Bukan lagi jadi pertanyaan tentang apakah penting penilaian
dimasukkan dalam praktek terapi tetapi tentang bagaimana melibatkan klien semaksimal
mungkin dalam proses penilaian tersebut.
d. Penerapan filosofi dari pendekatan the person
centered
Pendekatan the person centered telah diterapkan
untuk bekerja individu, kelompok maupun keluarga. Pendekatan the person cetered
juga telah terbukti sebagai terapi yang layah dan lebih berorientasi, filosofi
dasar dari the person centered memiliki penerapan untuk pendidikan SD hinga
lulus.
e. Aplikasi untuk krisis intervensi
Pendekatan the person centered terutama berlaku
dalam krisis intervensi seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit,
peristiwa bencana dan kehilangan orang yang dicintai. Dalam krisis intervensi
seseorang yang mengalaminya butuh dorongan motivasi dari orang-orang
sekitarnya, kepedulian dan berusaha untuk menempatkan posisinya. Meskipun
kehadira dan kontak psikologis dengan orang yang peduli dapat membawa banyak
perubahan baik, namun dalam situasi tersebut seorang therapist perlu
menyediakan struktur dan arah yang lebih baik.
f. Aplikasi untuk kelompok konseling
Pendekatan the person centered menekankan peran unik
dari kelompok konselor sebagai fasilitator dan bukan pemimpin. Fasilitator
harus menghindari membuat komentar nterpretatif karena komentar tersebut
cenderungmembuat diri kelompok sadar dan memperlihatkan proses yang terjadi.
Referensi
Corey, G. (2009). Theoryand practice of counseling
and psychotherapy. USA: Thomson Books.
Ivey, A. E., D'Andrea, M., Ivey, M. B., &
Simek-Morgan, L. (2009). Theories of conseling dan psychotherapy. Canada:
Pearson Education, Inc.
Langganan:
Postingan (Atom)